Aritmia Bisa Berakibat Fatal

Senin, 15 April 2019 - 13:30 WIB
Aritmia Bisa Berakibat Fatal
Aritmia Bisa Berakibat Fatal
A A A
JAKARTA - Sekitar 87% dari data pasien penyakit jantung koroner yang meninggal mendadak di Indonesia menderita Aritmia. Masyarakat perlu pemahaman lebih jauh terkait penyakit ini.

Prof Dr dr Yoga Yuniadi SpJP(K), guru besar FKUI yang juga ahli jantung dan pembuluh darah RS Columbia Asia Pulomas, menjelaskan bahwa aritmia merupakan penyakit yang dikenal dengan gangguan irama jantung. Aritmia dapat terjadi karena adanya gangguan produksi impuls atau abnormalitas penjalaran impuls listrik ke otot jantung.

“Berdebar merupakan gejala tersering aritmia, tetapi spektrum gejala aritmia cukup luas, mulai berdebar, keleyengan , pingsan, stroke, bahkan kematian mendadak,” papar dr Yoga.

Jika ditangani dengan tepat, penyakit aritmia, baik kelompok bradiaritmia, yaitu laju jantung yang terlalu lambat (kurang dari 60 kali per menit/kpm), maupun takiaritmia, yaitu laju jantung yang terlalu cepat (lebih dari 100 kpm), kematian mendadak (sudden death) dapat dicegah.

Dr Yoga menilai pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang penyakit aritmia saat ini sudah semakin baik. Sejalan dengan hal tersebut, kasus aritmia semakin rendah karena masyarakat semakin memahami dan tahu kapan harus memeriksakan diri ke dokter. Dia juga menegaskan bahwa faktor usia bukan menjadi hal penting dalam penyakit aritmia, mengingat penyakit ini bisa dialami semua tingkatan usia.

Sebut saja, bayi yang baru lahir bisa mengalami kondisi irama jantung yang lambat atau blok jantung. Adapun 40% pasien di atas usia 40 tahun mengalami irama jantung yang terlalu cepat atau fibrilasi atrium (FA). Jika dikaitkan dengan gagal jantung, tidak semua aritmia berhubungan dengan gagal jantung.

Gagal jantung dapat disebabkan kelainan irama jantung yang terlalu cepat sehingga jantung bekerja terus-menerus karena otomatisitas sistem listrik. Sistem listrik jantung terdiri dari generator listrik alamiah, yaitu nodus sinoatrial (SA) dan jaringan konduksi listrik dari atrium ke ventrikel. “Hal tersebut dapat mengganggu pembentukan atau penjalaran impuls listrik sehingga menimbulkan penyakit aritmia,” ungkap dr Yoga.

Mengenai gagal jantung, dr Dony Yugo Hermanto SpJP(K) menjelaskan bahwa gagal jantung merupakan masalah yang bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga dunia. Hal ini sudah merupakan pandemi global yang diderita sekitar 26 juta penduduk dunia.

Selain penyakit jantung koroner, gagal jantung juga disebabkan hipertensi yang tidak terkontrol. Prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 34,1%, di mana 45,6% pasien hipertensi tidak minum obat secara rutin. Kondisi hipertensi yang tidak terkontrol dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan jantung menjadi terlalu kaku atau lemah untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Tingkat kematian kasus gagal jantung pada kasus yang dirawat di RS juga cukup tinggi, sebesar 12%.

Maka itu, dr Dony menekankan, deteksi dini akan adanya gejala gagal jantung harus dilakukan secara dini, terutama pada pasien-pasien yang memiliki faktor risiko seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, atau riwayat penyakit jantung rematik saat kecil. Pemeriksaan sederhana seperti echocardiografi (USG jantung) dapat melihat fungsi pompa jantung pada pasien yang berisiko tinggi.Perlu diketahui, prinsip utama pengobatan gagal jantung adalah manajemen seumur hidup (lifelong management). Terapi utama adalah menggunakan obat-obatan gagal jantung. Mencari dan melakukan tata laksana terhadap penyebab gagal jantung juga penting dilakukan tanpa lupa mempertahankan gaya hidup yang baik. Tanpa didukung gaya hidup sehat, pengobatan menjadi tidak berarti.
Bila pada kasus tertentu di mana gagal jantung tidak dapat diatasi dengan terapi obat, terdapat pilihan lain seperti pemasangan alat elektronik kardiak implan. “Alat ini dapat membantu sinkronisasi kontraksi jantung agar lebih efektif,” papar dr Dony. (Sri Noviarni)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4287 seconds (0.1#10.140)